Senja itu Ikhwan duduk di bangku pelataran rumahnya. Ditemani secangkir teh yang volumenya tak berkurang sedikitpun. Desahan angin di balik rimbunnya pohon mangga turut mengiringi syahdunya senja kala itu. Sesekali terdengar desingan motor yang lewat jalan di depan rumahnya. Hm.. Semua tak ia pedulikan. Posisinya tetap bersandar pada batang pohon Mangga, kaki di angkat, tangan bersedekap dan pandangan terpejam sembari kepala tertempel di batang pohon itu. Ada hal yang lebih menyita imajinasinya hingga syahdu senja tak ia hiraukan. Bibirnya komat-kamit bak dukun yang sedang menolong pasiennya. Ia menirukan dendang lagu lewat MP3 yang tertancap di kedua telinganya. Seakan senja itu seutuhnya adalah miliknya.
“Hm… seorang guru ternyata bisa galau juga” Gumannya lirih dan seketika membuatnya tersadar akan semedi panjang yang tak sadar tlah ia lakukan. Tersenyum datar saat tersadar dari imajinasinya yang tlah terhenti oleh kesadarannya sendiri.
Di Balik pintu ternyata ada sosok yang senantiasa memperhatikan gerak-gerik Ikhwan. Ntah… berapa lama sosok paruh baya itu berdiri di balik pintu, memandangi anak sulungnya yang sedang asyik dengan imajinasi yang terlihat begitu mengasyikkan. Tak berniat mengganggu anak sulungnya hingga terlihat anak sulungnya sudah tersadar dan mungkin tlah mendapati imajinasinya menjadi sebuah kenyataan. Sosok itu mulai mendekat, menyambangi anak sulungnya itu dengan sentuhan lembut khas seorang Bunda.
“Hm… ada apa gerangan dengan kau anakku? Bunda melihat kau asyik dengan imajinasi mu sehingga sesekali kau tersenyum dan sesekali juga raut wajah mu menampakkan kesedihan” Suara lembut yang mencoba membuka pembicaraan
“Ah..Bunda ternyata sudah lama memperhatikan Ikhwan ya?” Mencoba memperbaiki posisi duduknya dan melepas tali headset yang tertancap di kedua telinganya.
“Ya… Bunda tak sengaja melihat mu. Bunda penasaran apa yang membuatmu betah duduk berlama-lama di sini.”
***
Kisah ini berawal sejak niatan itu terucapkan untuk Nabila. Seorang akhwat yang Ia yakini sebagai calon pendamping hidupnya. Pertemuannya berawal dari bangku sekolah, yaitu pertemuan antara seorang guru dengan muridnya yang berujung pada sebuah proses suci sebagai penyempurna.
Sejak dua tahun yang lalu Ikhwan ditugaskan menjadi guru agama di salah satu SMA Swasta di Kota Kembang. Yah… Ikhwan adalah seorang Sarjana Pendidikan, Lulusan Universitas ternama di Kota Kembang. Sarjana yang lulus dengan Indeks Prestasi Cumlaude dan setelah lulus langsung mendapatkan kesempatan untuk mengajar di SMA Swasta yang cukup ternama. Hari-harinya kini disibukkan dengan rutinitas mengajar. Selalu dilingkupi dengan anak-anak SMA yang tentunya masih sangat labil secara psikologis. Beragam tingkah aneh siswa kini harus ia telan setiap hari demi mengemban tugas suci sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Ia pun menghadapinya dengan senyuman dan selalu berusaha mendekat pada Anak didiknya. Tak jarang Anak didiknya yang dekat dengannya hingga ada yang menganggap Ikhwan adalah sebagai kakak bukan sebagai seorang guru. Hal ini juga terkait dengan usia antara Ikhwan dan anak didiknya yang tidak terpaut jauh sehingga layaknya hubungan seorang Kakak dan Adik.
Sikap Ikhwan memang terkesan datar dan penuh dengan canda. Tak ada suasana tegang jika berbicara dengannya. Suasana kelaspun selalu hidup ketika mata pelajaran yang Ia bawakan. Inilah kelebihan Ikhwan yang setidaknya Ia menyadari dan memanfaatkan suasana tersebut sebagai ajang untuk menanamkan agama dalam diri anak didiknya. Setidaknya Anak didiknya mau mendengarkan ketika siraman-siraman rohani Ia bawakan. Sesekali Ikhwan mengajak Anak didiknya untuk mengikuti pengajian rutin yang ada di Masjid Agung Di dekat Rumahnya.
Ikhwan juga dipercaya oleh pihak sekolah untuk mengembangkan salah satu organisasi yang ada di Sekolah yaitu ROHIS. Ikhwan dipercaya sebagai Pembina ROHIS untuk periode sekarang hingga setahun kedepan. Peluang ini Ia manfaatkan untuk menyalurkan ide-idenya. Mengembangkan ROHIS sebagai sentra organisasi di Sekolah yang berbasis ISLAM. Pengalaman organisasinya saat di Kampus menjadi modal awalnya untuk melangkah. Ia memulai dari pecitraan ROHIS kepada Siswa-Siswa SMA. Tak hanya itu, pencitraan Ia barengi dengan pengadaan kegiatan-kegiatan yang menambah Tsaqofah islam melalui kajian-kajian yang dilakukan di Masjid Sekolah. Kelompok-kelompok juga dibentuk oleh Ikhwan dimana setiap kelompok akan dipegang oleh satu orang pementor atau yang lebih familiar disebut dengan Halaqoh. Semua kegiatan itu tentunya Ia lakukan bersama dengan siswa-siswa yang sudah memilih bergabung dengan ROHIS. Salah satu jalan yang juga Ia lakukan adalah pengukuhan siswa-siswa yang sudah tergabung sebagai pengurus ROHIS sehingga untuk bergerak Ikhwan selalu mengoptimalkan kemampuan para pengurus.
Sembari berjalannya waktu, hasil yang terbilang memuaskan telah terlihat selama satu tahun Ia menjadi Pembina ROHIS walaupun belum terlihat signifikan tetapi setidaknya ada Siswa-siswa baru yang tergabung dalam ROHIS dan ROHIS SMA tersebut pernah menjuarai berbagai kegiatan baik antar sekolah maupun menjuarai juara umum di tingkat Provinsi. ROHIS SMA tersebut juga telah memperluas link dengan organisasi-organisasi baik dalam dan luar Sekolah sehingga setiap acara-acara yang dikemas sebagai langkah untuk berdakwah selalu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Pertemuannya juga berawal dari Organisasi yang Ia berada dalam genggaman amanah. Akhwat itu adalah salah satu pengurus ROHIS yang telah duduk di Bangku kelas XII. Akhwat yang masih belia berumur 17 tahun, Manis peringainya, Anggun dalam berpenampilan, Terhitung sebagai salah satu siswa yang berpredikat berprestasi di SMAnya, Seorang akhwat yang didalam kepengurusan berada dalam struktur Koordinator Keputrian yang tentunya akan selalu berhubungan dengan Pembina Sekolah. Struktur dalam kepengurusan memang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja tetap jalur koordinasi akan dihubungkan oleh koordinator masing-masing divisi. Benih itu muncul seyognyanya dengan koordinasi dalam bingkisan amanah. Perhatian mulai Ikhwan tampakkan pada Nabila sang akhwat yang mencuri hatinya. Sesekali SMS sering Ia kirimkan untuk Sang Akhwat hingga pada akhirnya gayung sambut dari Nabila mulai tumbuh mekar bak bunga Sakura di musim Semi dan berujung pada proses saling mengenal.
Nabila yang pada dasarnya adalah seorang akhwat yang lembut hatinya dan masih berusia belia pula mendapatkan perhatian khas dari lawan jenisnya yang notabenenya adalah guru sekaligus Pembina ROHIS di sekolahnya, seolah-olah membuat Nabila menjadi tergoncang dan pada akhirnya memilih untuk menjadikan bunga-bunga dalam hatinya bermekaran secara liar tak terelakkan. Selama beberapa Bulan keduanya larut dalam buaian bunga-bunga cinta. Proses perkenalan pun telah mereka lakukan. Akan tetapi Mereka tak pernah memperlihatkan ketika di Sekolah maupun dimana saja tempatnya, tak pernah keluar layaknya remaja-remaja yang mengatasnamakan dengan sebutan PACARAN, jarang bertegur sapa ketika berpapasan, sekalipun bertemu hanya sebatas senyum hormat layaknya guru dengan anak didiknya, dan Ikhwan pada semester ini tidak mengajar di Kelas XII sehingga tak memungkinkan mereka bertemu dalam sesi KBM (Kegiatan Belajar Mengajar). Mereka hanya berkomunikasi lewat HP yang intensitasnya juga tidak relatif sering. Sesekali saja komunikasi mereka lakukan hanya saja komunikasi yang tergolong berbobot rasa sehingga menimbulkan kesan tersendiri khususnya bagi Nabila sebagai pemilik hati seorang Akhwat. Selain itu interaksi mereka melalui sebuah buku yang kerap kali Ikhwan pinjamkan pada Nabila. Ikhwan tahu bahwa Nabila gemar sekali membaca sehingga banyak buku-buku yang dapat menambah tsaqofah islam Ia pinjamkan pada Nabila. Tak hanya pada Nabila pada siswa-siswa lain yang saat itu sedang bersama Nabila juga Ia pinjami buku. Merekapun sesekali pernah bertemu akan tetapi mereka tidak berdua-duaan saja, Nabila bersama teman akhwatnya dan Ikhwan bersama teman Ikhwannya.
Beberapa Bulan tlah terlewati hingga moment puncak tlah terjadi, ada keinginan yang terbesit dalam hati Ikhwan untuk menyempurnakan ibadahnya. Sempat juga terbesit tentang sesuatu yang salah dan keliru hingga menodai hatinya dan akhwat yang sekarang tengah mengisi ruang hati. Ya… tentu dengan interaksi yang mereka lakukan selama beberapa bulan terakhir. Ikhwan mulai merasakan keresahan tentang apa yang sedang bergejolak dalam hatinya. Berawal dari sebuah interaksi yang menjadi sebuah pembiasaan hingga berujung pada gejolak hati yang menyertakan peran syetan. Dua insan yang sedang berada dalam indahnya peraduan pelangi di senja hari, Indah ketika pelangi itu muncul tapi keindahannya tak mempunyai banyak waktu untuk dinikmati karena pelangi itu muncul dikala senja yang akan cepat berakhir pada pekatnya malam. Hingga pesona pelangi itu takkan terlihat lagi oleh pandangan manusia yang tadinya berada dalam buaian warna-warninya.
Begitupun ketika orang jatuh cinta atau sedang merindukan seseorang yang tlah dijadikan pilihan sebagai pendamping hidup. Warna-warninya akan terus Ia kejar hingga mendapatkan indah warna-warninya tanpa Ia sadari munculnya warna-warni itu sebenarnya hanyalah fatamorgana belaka. Warna-warni yang akan Ia nikmati sebentar saja hanya karena waktu munculnya belum tepat. Itulah yang sempat Ikhwan renungkan. Warna-warni rasa itu kini telah berujung pada niataan yang telah Ikhwan ungkapkan pada Nabila.
***
Percakapan di Senja Syahdu itu masih berlanjut dengan hangatnya. Pembiacaraan seorang Bunda dengan anak sulungnya. Bunda memang ingin mengorek apa yang sebenarnya membuat Ikhwan menampakkan perbedaan sejak beberapa hari yang lalu. Ikhwanpun tak kuasa menyembunyikan kegalauan hatinya pada Sang Bunda walaupun sebenarnya Bunda sudah tahu apa yang tengah dirisaukannya. Pesona Bundanya tak bisa diterjang, tak bisa ditolaknya untuk tidak membagi dengannya. Ikhwan memang sangat dekat dengan sosok Bundanya. Hampir ketika ada yang mengganjal Ikhwan selalu bercerita pada Bunda termasuk tentang Nabila. Bundanya sudah mengetahui secara mendetail bagaimana proses yang telah dialami anak sulungnya itu. Bundanya tak jua pernah menolak keterbukaan Ikhwan padanya. Ikhwan selalu menganggap Bunda adalah sahabat terbaiknya yang tentu tak mengurangi rasa hormatnya pada beliau sebagai orang tua.
“Bunda.. sekiranya bunda sudah bisa menebak apa yang menjadi keresahan Ikhwan saat ini.” Ikhwan mulai membuka percakapannya.
“Hm… Bunda tak ingin salah menebak anakku.” Bunda mencoba menjawab dengan ekspresi yang datar.
“Bunda… (Hening sesaat) Bunda…Ikhwan masih dalam keinginan untuk cepat menjalankan sunnah Rasul!!!”
Semburat senyuman terlihat di Wajah Bundanya. Entah apa maksud dari senyuman itu yang pasti senyuman itu tertangkap jelas oleh kedua bola mata Ikhwan hingga desiran angin menyentuh hati Ikhwan. Terasa ada angin yang membuatnya terbuai dalam kata-kata yang baru beberapa detik lalu Ia lontarkan pada Bundanya.
“Bunda… Ikhwan masih mendambakan Nabila sebagai pendamping hidup. Sebenarnya setelah Nabila memutuskan untuk mundur, Ikhwan sudah mulai mencoba menerimanya sembari memedam asa ini Bunda… Menutup rapat, menguburnya di hati terdalam. Ikhwan pun sebenarnya tak berniat untuk memupuk rasa ini tapi… tak bisa dipungkiri Bunda, Ikhwan menginginkan segera menyempurnakan. Ikhwan sangat takut jika ALLAH murka akan rasa ini Bunda. Tapi.. Ikhwan bingung bagaimana mengakhirinya?”
Senyuman khas Bunda dan Sentuhan tangan yang menyentuh pundak Ikhwan mengiri suara merdu Bundanya. “Bunda… paham Nak…akan perasaan Ikhwan. Fitrah yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia ketika sudah masanya merasakan fitrah itu. Bunda bangga sekaligus sudah merestui ketika Ikhwan berniatan menyempurnakan. Bundakan juga sudah ingin menimang cucu. (Senyum Bunda menghiasai wajah teduhnya hingga seketika membuat rona memerah wajah Ikhwan). Ehm… sekarang Bunda mau bertanya sekali lagi apakah Ikhwan memang benar-benar sudah siap dengan segala konsekuensinya ketika memutuskan memilih untuk segera menyempurnakan? ” Suara Bunda semakin lambat terdengar. Lambat tetapi penuh tekanan sehingga jelas sampai di telinga Ikhwan.
“InsyaAllah siap Bunda. Ikhwanpun sudah memperhitungkan semuanya. Ketika gejolak itu ada Ikhwan tak hanya berpikir untuk saat ini saja tapi pikiran ini sudah Ikhwan bawa melangkah jauh kedepan termasuk hal terburuk yang mungkin terjadi. Bunda… juga sudah melihat keinginan itu berujung pada keberanian Ikhwan untuk meminang Nabila bukan?.”
“Ehm..Bunda percaya kalau Ikhwan tidak mungkin melangkah tanpa perhitungan yang matang. Ikhwanpun sudah dewasa dan bisa memutuskan hidup Ikhwan yang tentunya tetap Allah sebagai sandarannya. Bunda merasakan kesiapan Ikhwan dan sekali lagi bunda mendukung dan merestui niatan itu. Ikhwan juga baru saja merasakan fase proses menuju penyempurnaan itu yang bisa dibilang menguras emosi. Hanya saja untuk saat ini Ikhwan harus mulai mencoba untuk tidak sibuk dengan perasaan yang sedang melanda. Coba Ikhwan melihat posisi Nabila sebagai seorang akhwat yang sedang menuju pada proses pendewasaan, merasakan bagaimana perasaan Nabila yang notabenenya dia masih duduk di Bangku SMA. Nabila juga sudah mengungkapkan alasan-alasan tersendiri hingga pada akhirnya memutuskan untuk mundur dari proses yang telah kalian jalani. Bunda bisa merasakan beratnya menerima ketika keputusan yang kita dapatkan tak sesuai dengan keinginan dan harapan kita. Kecewa tentu. Sedih apa lagi (sambil tersenyum lalu berhenti sejenak).
“Tapi Nak… Bunda yakin Ikhwan paham mengenai ketentuan Allah, Ikhwan paham bagaimana manusia itu hanya mampu mengukir asa seindah syurga akan tetapi tetap semua kembali pada ketentuan Allah yang tentu terbaik untuk Umatnya walaupun kadang terasa amat sangat pahit. Kita hanya bisa berbaik sangka atas apa yang terjadi pada kita bukan? Mungkin Allah menempatkan kondisi seperti ini agar Ikhwan tidak menyerah dengan niatan suci itu. Mungkin Allah ingin menguji kesungguhan Ikhwan dengan memberikan cara yang dianggap manusia sebagai cara yang membuat sedih, merasakan sakit dan merasakan kerisauan yang begitu berat karena Allah merencanakan sesuatu yang indah dari cara tersebut. Bukankah Ikhwan tidak ingin murka Allah menimpa Ikhwan? ”
Ikhwan memilih menutup mulutnya ketika Bunda memberikan nasihat-nasihatnya. Ikhwan mencoba memasukkannya dalam hati mencernanya hingga Ikhwan berharap kata-kata itu mampu merajut motivasi Ikhwan yang sempat kandas. Sesekali hanya anggukan-anggukan kecil yang Ikhwan tampakkan pada Bundanya.
“Bunda… berharap sekali rasa yang Ikhwan punya untuk Nabila bukan menjadikan kalian terbuai dalam keindahannya hingga akhirnya kalian menjadi lalai pada koridor yang membentengi seorang laki-laki dan perempuan yang belum syah menjadi suami istri. Ikhwan sudah mengikhtiarkannya dan Ikhwan sudah mendapat jawaban sementara itu. Mengapa Bunda bilang sementara? Ya… Karena jawaban itu Bunda rasa bukan akhir dari segalanya. Allah masih punya rencana rahasia untuk Ikhwan. Sekarang saatnya Ikhwan mengejarnya kembali. Bukan untuk mengejar Nabila tetapi mengejar keRidhoan Allah. Karena RidhoNYA adalah segala-galanya untuk Ikhwan dan juga Nabila. Jika memang perasaan itu belum bisa terhapuskan jangan memaksa untuk menghapusnya tapi simpan dan titip pada Allah, tempat yang terbaik dari semua tempat yang ada di Bumi ini. Allah yang akan membimbing Ikhwan untuk tetap dalam koridor syariatNYA. Bunda…hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mu anakku tak banyak yang bisa Bunda lakukan karena semua yang terjadi dalam fase kehidupan ini ada yang mengaturnya.”
Bunda mengakhiri nasihatnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ikhwan terbuai dengan nasihat itu. Pikirannya semakin melayang-layang. Terbang bak burung yang bebas mengepakkan sayapnya. Dalam benaknya mengiyakan semua yang terucap dari hati Bundanya itu. Dalam angan-angannya yang terbang bersama untaian nasihat-nasihat Bunda, Ikhwan melihat wajah Nabila ikut petualangan angannya dalam bingkai sebuah bayangan. Ikhwanpun membagi nasihat-nasihat Bunda pada Nabila hingga kalimat terakhir terlontarkan untuk akhwat yang di cintainya “Inilah Caraku Cinta” ^^
Wajah Nabila lamat-lamat menghilang dan memudar dalam pekatnya langit. Untaian nasihat-nasihat itu tlah selesai Ikhwan bagi dalam dunia angannya. Petualangannyapun berakhir dalam lantunan Adzan Magrib yang membahana dipelosok Kota. Tanda Senja tlah tenggelam dan berganti malam yang akan membungkus Kuncup Cinta Dalam Bingkisan Amanah menuju nafas pembaharuan tuk kejar harapan yang sempat kandas. ?
“Hm… seorang guru ternyata bisa galau juga” Gumannya lirih dan seketika membuatnya tersadar akan semedi panjang yang tak sadar tlah ia lakukan. Tersenyum datar saat tersadar dari imajinasinya yang tlah terhenti oleh kesadarannya sendiri.
Di Balik pintu ternyata ada sosok yang senantiasa memperhatikan gerak-gerik Ikhwan. Ntah… berapa lama sosok paruh baya itu berdiri di balik pintu, memandangi anak sulungnya yang sedang asyik dengan imajinasi yang terlihat begitu mengasyikkan. Tak berniat mengganggu anak sulungnya hingga terlihat anak sulungnya sudah tersadar dan mungkin tlah mendapati imajinasinya menjadi sebuah kenyataan. Sosok itu mulai mendekat, menyambangi anak sulungnya itu dengan sentuhan lembut khas seorang Bunda.
“Hm… ada apa gerangan dengan kau anakku? Bunda melihat kau asyik dengan imajinasi mu sehingga sesekali kau tersenyum dan sesekali juga raut wajah mu menampakkan kesedihan” Suara lembut yang mencoba membuka pembicaraan
“Ah..Bunda ternyata sudah lama memperhatikan Ikhwan ya?” Mencoba memperbaiki posisi duduknya dan melepas tali headset yang tertancap di kedua telinganya.
“Ya… Bunda tak sengaja melihat mu. Bunda penasaran apa yang membuatmu betah duduk berlama-lama di sini.”
***
Kisah ini berawal sejak niatan itu terucapkan untuk Nabila. Seorang akhwat yang Ia yakini sebagai calon pendamping hidupnya. Pertemuannya berawal dari bangku sekolah, yaitu pertemuan antara seorang guru dengan muridnya yang berujung pada sebuah proses suci sebagai penyempurna.
Sejak dua tahun yang lalu Ikhwan ditugaskan menjadi guru agama di salah satu SMA Swasta di Kota Kembang. Yah… Ikhwan adalah seorang Sarjana Pendidikan, Lulusan Universitas ternama di Kota Kembang. Sarjana yang lulus dengan Indeks Prestasi Cumlaude dan setelah lulus langsung mendapatkan kesempatan untuk mengajar di SMA Swasta yang cukup ternama. Hari-harinya kini disibukkan dengan rutinitas mengajar. Selalu dilingkupi dengan anak-anak SMA yang tentunya masih sangat labil secara psikologis. Beragam tingkah aneh siswa kini harus ia telan setiap hari demi mengemban tugas suci sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Ia pun menghadapinya dengan senyuman dan selalu berusaha mendekat pada Anak didiknya. Tak jarang Anak didiknya yang dekat dengannya hingga ada yang menganggap Ikhwan adalah sebagai kakak bukan sebagai seorang guru. Hal ini juga terkait dengan usia antara Ikhwan dan anak didiknya yang tidak terpaut jauh sehingga layaknya hubungan seorang Kakak dan Adik.
Sikap Ikhwan memang terkesan datar dan penuh dengan canda. Tak ada suasana tegang jika berbicara dengannya. Suasana kelaspun selalu hidup ketika mata pelajaran yang Ia bawakan. Inilah kelebihan Ikhwan yang setidaknya Ia menyadari dan memanfaatkan suasana tersebut sebagai ajang untuk menanamkan agama dalam diri anak didiknya. Setidaknya Anak didiknya mau mendengarkan ketika siraman-siraman rohani Ia bawakan. Sesekali Ikhwan mengajak Anak didiknya untuk mengikuti pengajian rutin yang ada di Masjid Agung Di dekat Rumahnya.
Ikhwan juga dipercaya oleh pihak sekolah untuk mengembangkan salah satu organisasi yang ada di Sekolah yaitu ROHIS. Ikhwan dipercaya sebagai Pembina ROHIS untuk periode sekarang hingga setahun kedepan. Peluang ini Ia manfaatkan untuk menyalurkan ide-idenya. Mengembangkan ROHIS sebagai sentra organisasi di Sekolah yang berbasis ISLAM. Pengalaman organisasinya saat di Kampus menjadi modal awalnya untuk melangkah. Ia memulai dari pecitraan ROHIS kepada Siswa-Siswa SMA. Tak hanya itu, pencitraan Ia barengi dengan pengadaan kegiatan-kegiatan yang menambah Tsaqofah islam melalui kajian-kajian yang dilakukan di Masjid Sekolah. Kelompok-kelompok juga dibentuk oleh Ikhwan dimana setiap kelompok akan dipegang oleh satu orang pementor atau yang lebih familiar disebut dengan Halaqoh. Semua kegiatan itu tentunya Ia lakukan bersama dengan siswa-siswa yang sudah memilih bergabung dengan ROHIS. Salah satu jalan yang juga Ia lakukan adalah pengukuhan siswa-siswa yang sudah tergabung sebagai pengurus ROHIS sehingga untuk bergerak Ikhwan selalu mengoptimalkan kemampuan para pengurus.
Sembari berjalannya waktu, hasil yang terbilang memuaskan telah terlihat selama satu tahun Ia menjadi Pembina ROHIS walaupun belum terlihat signifikan tetapi setidaknya ada Siswa-siswa baru yang tergabung dalam ROHIS dan ROHIS SMA tersebut pernah menjuarai berbagai kegiatan baik antar sekolah maupun menjuarai juara umum di tingkat Provinsi. ROHIS SMA tersebut juga telah memperluas link dengan organisasi-organisasi baik dalam dan luar Sekolah sehingga setiap acara-acara yang dikemas sebagai langkah untuk berdakwah selalu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Pertemuannya juga berawal dari Organisasi yang Ia berada dalam genggaman amanah. Akhwat itu adalah salah satu pengurus ROHIS yang telah duduk di Bangku kelas XII. Akhwat yang masih belia berumur 17 tahun, Manis peringainya, Anggun dalam berpenampilan, Terhitung sebagai salah satu siswa yang berpredikat berprestasi di SMAnya, Seorang akhwat yang didalam kepengurusan berada dalam struktur Koordinator Keputrian yang tentunya akan selalu berhubungan dengan Pembina Sekolah. Struktur dalam kepengurusan memang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja tetap jalur koordinasi akan dihubungkan oleh koordinator masing-masing divisi. Benih itu muncul seyognyanya dengan koordinasi dalam bingkisan amanah. Perhatian mulai Ikhwan tampakkan pada Nabila sang akhwat yang mencuri hatinya. Sesekali SMS sering Ia kirimkan untuk Sang Akhwat hingga pada akhirnya gayung sambut dari Nabila mulai tumbuh mekar bak bunga Sakura di musim Semi dan berujung pada proses saling mengenal.
Nabila yang pada dasarnya adalah seorang akhwat yang lembut hatinya dan masih berusia belia pula mendapatkan perhatian khas dari lawan jenisnya yang notabenenya adalah guru sekaligus Pembina ROHIS di sekolahnya, seolah-olah membuat Nabila menjadi tergoncang dan pada akhirnya memilih untuk menjadikan bunga-bunga dalam hatinya bermekaran secara liar tak terelakkan. Selama beberapa Bulan keduanya larut dalam buaian bunga-bunga cinta. Proses perkenalan pun telah mereka lakukan. Akan tetapi Mereka tak pernah memperlihatkan ketika di Sekolah maupun dimana saja tempatnya, tak pernah keluar layaknya remaja-remaja yang mengatasnamakan dengan sebutan PACARAN, jarang bertegur sapa ketika berpapasan, sekalipun bertemu hanya sebatas senyum hormat layaknya guru dengan anak didiknya, dan Ikhwan pada semester ini tidak mengajar di Kelas XII sehingga tak memungkinkan mereka bertemu dalam sesi KBM (Kegiatan Belajar Mengajar). Mereka hanya berkomunikasi lewat HP yang intensitasnya juga tidak relatif sering. Sesekali saja komunikasi mereka lakukan hanya saja komunikasi yang tergolong berbobot rasa sehingga menimbulkan kesan tersendiri khususnya bagi Nabila sebagai pemilik hati seorang Akhwat. Selain itu interaksi mereka melalui sebuah buku yang kerap kali Ikhwan pinjamkan pada Nabila. Ikhwan tahu bahwa Nabila gemar sekali membaca sehingga banyak buku-buku yang dapat menambah tsaqofah islam Ia pinjamkan pada Nabila. Tak hanya pada Nabila pada siswa-siswa lain yang saat itu sedang bersama Nabila juga Ia pinjami buku. Merekapun sesekali pernah bertemu akan tetapi mereka tidak berdua-duaan saja, Nabila bersama teman akhwatnya dan Ikhwan bersama teman Ikhwannya.
Beberapa Bulan tlah terlewati hingga moment puncak tlah terjadi, ada keinginan yang terbesit dalam hati Ikhwan untuk menyempurnakan ibadahnya. Sempat juga terbesit tentang sesuatu yang salah dan keliru hingga menodai hatinya dan akhwat yang sekarang tengah mengisi ruang hati. Ya… tentu dengan interaksi yang mereka lakukan selama beberapa bulan terakhir. Ikhwan mulai merasakan keresahan tentang apa yang sedang bergejolak dalam hatinya. Berawal dari sebuah interaksi yang menjadi sebuah pembiasaan hingga berujung pada gejolak hati yang menyertakan peran syetan. Dua insan yang sedang berada dalam indahnya peraduan pelangi di senja hari, Indah ketika pelangi itu muncul tapi keindahannya tak mempunyai banyak waktu untuk dinikmati karena pelangi itu muncul dikala senja yang akan cepat berakhir pada pekatnya malam. Hingga pesona pelangi itu takkan terlihat lagi oleh pandangan manusia yang tadinya berada dalam buaian warna-warninya.
Begitupun ketika orang jatuh cinta atau sedang merindukan seseorang yang tlah dijadikan pilihan sebagai pendamping hidup. Warna-warninya akan terus Ia kejar hingga mendapatkan indah warna-warninya tanpa Ia sadari munculnya warna-warni itu sebenarnya hanyalah fatamorgana belaka. Warna-warni yang akan Ia nikmati sebentar saja hanya karena waktu munculnya belum tepat. Itulah yang sempat Ikhwan renungkan. Warna-warni rasa itu kini telah berujung pada niataan yang telah Ikhwan ungkapkan pada Nabila.
***
Percakapan di Senja Syahdu itu masih berlanjut dengan hangatnya. Pembiacaraan seorang Bunda dengan anak sulungnya. Bunda memang ingin mengorek apa yang sebenarnya membuat Ikhwan menampakkan perbedaan sejak beberapa hari yang lalu. Ikhwanpun tak kuasa menyembunyikan kegalauan hatinya pada Sang Bunda walaupun sebenarnya Bunda sudah tahu apa yang tengah dirisaukannya. Pesona Bundanya tak bisa diterjang, tak bisa ditolaknya untuk tidak membagi dengannya. Ikhwan memang sangat dekat dengan sosok Bundanya. Hampir ketika ada yang mengganjal Ikhwan selalu bercerita pada Bunda termasuk tentang Nabila. Bundanya sudah mengetahui secara mendetail bagaimana proses yang telah dialami anak sulungnya itu. Bundanya tak jua pernah menolak keterbukaan Ikhwan padanya. Ikhwan selalu menganggap Bunda adalah sahabat terbaiknya yang tentu tak mengurangi rasa hormatnya pada beliau sebagai orang tua.
“Bunda.. sekiranya bunda sudah bisa menebak apa yang menjadi keresahan Ikhwan saat ini.” Ikhwan mulai membuka percakapannya.
“Hm… Bunda tak ingin salah menebak anakku.” Bunda mencoba menjawab dengan ekspresi yang datar.
“Bunda… (Hening sesaat) Bunda…Ikhwan masih dalam keinginan untuk cepat menjalankan sunnah Rasul!!!”
Semburat senyuman terlihat di Wajah Bundanya. Entah apa maksud dari senyuman itu yang pasti senyuman itu tertangkap jelas oleh kedua bola mata Ikhwan hingga desiran angin menyentuh hati Ikhwan. Terasa ada angin yang membuatnya terbuai dalam kata-kata yang baru beberapa detik lalu Ia lontarkan pada Bundanya.
“Bunda… Ikhwan masih mendambakan Nabila sebagai pendamping hidup. Sebenarnya setelah Nabila memutuskan untuk mundur, Ikhwan sudah mulai mencoba menerimanya sembari memedam asa ini Bunda… Menutup rapat, menguburnya di hati terdalam. Ikhwan pun sebenarnya tak berniat untuk memupuk rasa ini tapi… tak bisa dipungkiri Bunda, Ikhwan menginginkan segera menyempurnakan. Ikhwan sangat takut jika ALLAH murka akan rasa ini Bunda. Tapi.. Ikhwan bingung bagaimana mengakhirinya?”
Senyuman khas Bunda dan Sentuhan tangan yang menyentuh pundak Ikhwan mengiri suara merdu Bundanya. “Bunda… paham Nak…akan perasaan Ikhwan. Fitrah yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia ketika sudah masanya merasakan fitrah itu. Bunda bangga sekaligus sudah merestui ketika Ikhwan berniatan menyempurnakan. Bundakan juga sudah ingin menimang cucu. (Senyum Bunda menghiasai wajah teduhnya hingga seketika membuat rona memerah wajah Ikhwan). Ehm… sekarang Bunda mau bertanya sekali lagi apakah Ikhwan memang benar-benar sudah siap dengan segala konsekuensinya ketika memutuskan memilih untuk segera menyempurnakan? ” Suara Bunda semakin lambat terdengar. Lambat tetapi penuh tekanan sehingga jelas sampai di telinga Ikhwan.
“InsyaAllah siap Bunda. Ikhwanpun sudah memperhitungkan semuanya. Ketika gejolak itu ada Ikhwan tak hanya berpikir untuk saat ini saja tapi pikiran ini sudah Ikhwan bawa melangkah jauh kedepan termasuk hal terburuk yang mungkin terjadi. Bunda… juga sudah melihat keinginan itu berujung pada keberanian Ikhwan untuk meminang Nabila bukan?.”
“Ehm..Bunda percaya kalau Ikhwan tidak mungkin melangkah tanpa perhitungan yang matang. Ikhwanpun sudah dewasa dan bisa memutuskan hidup Ikhwan yang tentunya tetap Allah sebagai sandarannya. Bunda merasakan kesiapan Ikhwan dan sekali lagi bunda mendukung dan merestui niatan itu. Ikhwan juga baru saja merasakan fase proses menuju penyempurnaan itu yang bisa dibilang menguras emosi. Hanya saja untuk saat ini Ikhwan harus mulai mencoba untuk tidak sibuk dengan perasaan yang sedang melanda. Coba Ikhwan melihat posisi Nabila sebagai seorang akhwat yang sedang menuju pada proses pendewasaan, merasakan bagaimana perasaan Nabila yang notabenenya dia masih duduk di Bangku SMA. Nabila juga sudah mengungkapkan alasan-alasan tersendiri hingga pada akhirnya memutuskan untuk mundur dari proses yang telah kalian jalani. Bunda bisa merasakan beratnya menerima ketika keputusan yang kita dapatkan tak sesuai dengan keinginan dan harapan kita. Kecewa tentu. Sedih apa lagi (sambil tersenyum lalu berhenti sejenak).
“Tapi Nak… Bunda yakin Ikhwan paham mengenai ketentuan Allah, Ikhwan paham bagaimana manusia itu hanya mampu mengukir asa seindah syurga akan tetapi tetap semua kembali pada ketentuan Allah yang tentu terbaik untuk Umatnya walaupun kadang terasa amat sangat pahit. Kita hanya bisa berbaik sangka atas apa yang terjadi pada kita bukan? Mungkin Allah menempatkan kondisi seperti ini agar Ikhwan tidak menyerah dengan niatan suci itu. Mungkin Allah ingin menguji kesungguhan Ikhwan dengan memberikan cara yang dianggap manusia sebagai cara yang membuat sedih, merasakan sakit dan merasakan kerisauan yang begitu berat karena Allah merencanakan sesuatu yang indah dari cara tersebut. Bukankah Ikhwan tidak ingin murka Allah menimpa Ikhwan? ”
Ikhwan memilih menutup mulutnya ketika Bunda memberikan nasihat-nasihatnya. Ikhwan mencoba memasukkannya dalam hati mencernanya hingga Ikhwan berharap kata-kata itu mampu merajut motivasi Ikhwan yang sempat kandas. Sesekali hanya anggukan-anggukan kecil yang Ikhwan tampakkan pada Bundanya.
“Bunda… berharap sekali rasa yang Ikhwan punya untuk Nabila bukan menjadikan kalian terbuai dalam keindahannya hingga akhirnya kalian menjadi lalai pada koridor yang membentengi seorang laki-laki dan perempuan yang belum syah menjadi suami istri. Ikhwan sudah mengikhtiarkannya dan Ikhwan sudah mendapat jawaban sementara itu. Mengapa Bunda bilang sementara? Ya… Karena jawaban itu Bunda rasa bukan akhir dari segalanya. Allah masih punya rencana rahasia untuk Ikhwan. Sekarang saatnya Ikhwan mengejarnya kembali. Bukan untuk mengejar Nabila tetapi mengejar keRidhoan Allah. Karena RidhoNYA adalah segala-galanya untuk Ikhwan dan juga Nabila. Jika memang perasaan itu belum bisa terhapuskan jangan memaksa untuk menghapusnya tapi simpan dan titip pada Allah, tempat yang terbaik dari semua tempat yang ada di Bumi ini. Allah yang akan membimbing Ikhwan untuk tetap dalam koridor syariatNYA. Bunda…hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mu anakku tak banyak yang bisa Bunda lakukan karena semua yang terjadi dalam fase kehidupan ini ada yang mengaturnya.”
Bunda mengakhiri nasihatnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ikhwan terbuai dengan nasihat itu. Pikirannya semakin melayang-layang. Terbang bak burung yang bebas mengepakkan sayapnya. Dalam benaknya mengiyakan semua yang terucap dari hati Bundanya itu. Dalam angan-angannya yang terbang bersama untaian nasihat-nasihat Bunda, Ikhwan melihat wajah Nabila ikut petualangan angannya dalam bingkai sebuah bayangan. Ikhwanpun membagi nasihat-nasihat Bunda pada Nabila hingga kalimat terakhir terlontarkan untuk akhwat yang di cintainya “Inilah Caraku Cinta” ^^
Wajah Nabila lamat-lamat menghilang dan memudar dalam pekatnya langit. Untaian nasihat-nasihat itu tlah selesai Ikhwan bagi dalam dunia angannya. Petualangannyapun berakhir dalam lantunan Adzan Magrib yang membahana dipelosok Kota. Tanda Senja tlah tenggelam dan berganti malam yang akan membungkus Kuncup Cinta Dalam Bingkisan Amanah menuju nafas pembaharuan tuk kejar harapan yang sempat kandas. ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar